Lembur 200 jam sebulan dokter muda di Jepang bundir
SAHMITRA – Takashima Shingo, seorang dokter berusia 26 tahun, mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri pada Mei 2022. Pihak keluarga mengklaim bahwa ketidakseimbangan kehidupan kerja dan bekerja lembur lebih dari 200 jam setiap bulan berdampak buruk pada dirinya dan menjadi penyebab utamanya. Kantor Inspeksi Standar Ketenagakerjaan Nishinomiya juga telah mengaitkan bunuh diri Takashima, dengan kondisi kerja di Konan Medical Center.
Melansir NHK, Takashima Shingo merupakan dokter residen di sebuah rumah sakit di Kota Kobe. Menurut pengacara keluarga pada sebuah kofrensi pers, Takashima harus bekerja lembur lebih dari 207 jam di bulan April dan tidak bisa mengambil hari libur selama tiga bulan. Sebelum bunuh diri, ibunya Junko Takashima menyatakan bahwa anaknya itu mengeluh “sangat sulit” dan “tidak ada yang mau membantuku”.
‘Tidak ada seorang pun yang memperhatikan saya,’ katanya terus-menerus kepada saya.”
Saya pikir lingkungan menempatkannya di tepi jurang. Anak saya tidak akan menjadi dokter yang baik hati, dia juga tidak akan mampu menyelamatkan pasien dan berkontribusi kepada masyarakat,”
Namun, saya sangat berharap lingkungan kerja para dokter semakin membaik sehingga hal serupa tidak terulang kembali di masa mendatang.”
Namun pada konferensi pers yang berbeda pada 17 Agustus 2023, Eisei Gu, kepala Pusat Medis Konan, membantah tuduhan tersebut dan menolak mengakui bahwa rumah sakit telah membebani dia dengan beban kerja yang berlebihan. Menurut pihak rumah sakit, Takashima mulai bekerja sebagai residen pada April 2020. Sejak April 2022, ia bekerja sebagai dokter spesialis ahli gastroenterologi.
Meski Sebuah laporan yang dirilis pada bulan Januari 2023 mengungkapkan bahwa Takashima tercatat melakukan 197 jam 36 menit lembur pada bulan April 2022, tepat sebulan sebelum kematiannya. Pihak rumah sakit berpendapat bahwa catatan waktu tersebut tidak semata-mata mewakili jam kerja, melainkan juga waktu belajar mandiri untuk memperoleh pengetahuan dan meningkatkan keterampilan.
Jepang merupakan tempat lahirnya karoshi, “kematian karena terlalu banyak bekerja”, sebuah kata yang ditemukan pada tahun 1970-an untuk menggambarkan kematian yang disebabkan oleh stres dan tekanan yang berhubungan dengan pekerjaan. Sayangnya, kata tersebut kini menjadi layaknya sebuah budaya yang merupakan bagian dari kehidupan orang-orang di Jepang hingga saat ini. Bagi banyak pekerja Jepang, mengambil cuti kerja adalah sebuah pilihan sulit karena suasana di tempat kerja yang tidak memungkinkan.
Mengapa demikian? Alasan utamanya adalah rasa bersalah, sebuah cerminan dari tekanan dan ekspektasi yang sangat membebani masyarakat yang gila kerja. Negara ini telah lama terkenal dengan budaya kerja yang intens dengan jam kerja yang sangat panjang. Adalah sesuatu yang normal bagi para pekerja untuk naik kereta terakhir untuk pulang setiap malam. Dan banyak pekerja yang menormalisasi tidak mengambil jatah cuti. Bahkan mereka tetap pergi kerja walau dalam keadaan tidak sehat.
Seorang pekerja di peusahaan teknologi di Tokyo, yang tidak mau disebutkan nama lengkapnya, mengakui bahwa dirinya lebih memilih untuk berangkat kerja daripada manajernya mengatakan hal buruk tentangnya karena mengambil cuti. Meski dia sebenarnya berhak atas cuti tahunan selama 20 hari.
Selain itu juga, Hirosi Ono, profesor manajemen sumber daya manusia di Universitas Hitotsubashi, spesialisasi dalam budaya kerja Jepang menjelaskan bahwa berbeda dengan masyarakat Barat yang lebih individualistis dan non-hierarki, masyarakat Jepang bersifat sangat kolektivis dan hierarkis. Makanya, banyak orang yang enggan berlibur karena atasannya tidak libur, atau takut mengganggu keharmonisan kelompok. Dengan demikian, sengaja atau tidak, mereka juga telah menghiraukan dampak buruknya terhadap kesehatan, kehidupan sosial, keluarga dan kesejahteraan diri.