Rumah horor keluarga Turpin. Punya 13 anak semuanya dipenjara dan sisiksa didalam rumah
SAHMITRA –
911 : ”911 gawat darurat, apa yang ingin anda laporkan?”
Anak perempuan : ”Um, saya baru saja kabur dari rumah.”
911 : “Apa kamu tahu alamat rumah kamu?”
Anak perempuan : “Um, tidak tahu. Saya kabur dari rumah karena, saya tinggal di keluarga yang berisikan 15 orang. Dan kami punya orangtua yang menyiksa kami. Kamu bisa dengar itu?”
911 : “Ya, bagaimana mereka menyiksa kamu?
Anak perempuan : “Mereka memukul kami, melempar kami. Menarik rambut kami, menjambak kami. Saya punya dua adik perempuan yang sedang dirantai sekarang. Kamu dengar saya tidak?”
911 : “Kamu umur berapa?”
Anak perempuan : “Um, saya 17 tahun.”
911 : “Siapa nama kamu?”
Anak perempuan : “Jordan Turpin”
Percakapan diatas adalah potongan dari rekaman panggilan telepon yang dilakukan seorang gadis 17 tahun bernama Jordan Turpin pada tanggal 14 Januari 2018, pukul 5:49 pagi ke unit gawat darurat 911. Panggilan tersebut dilakukan Jordan sesaat setelah berhasil menyelinap keluar lewat jendela rumah orangtuanya yang telah menyekap dirinya dan 12 saudara kandung lainnya.
Beberapa belas menit kemudian setelah Jordan melaporkan penyekapan dan penyiksaan yang dialaminya dan saudara-saudaranya, seorang petugas polisi yang bertugas malam itu berhasil menemukan Jordan yang sudah berdiri menunggu sambil ketakutan di ujung jalan. Polisi yang baru saja tiba itu lalu menayai Jordan lebih lanjut. Jordan memberanikan dirinya untuk menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan polisi berwajah serius itu. Sambil menjelaskan bahwa dirinya gugup karena tidak pernah keluar dari rumah seumur hidupnya dan tidak pernah bertemu atau bicara dengan orang lain.
Andai saja ketika itu Jordan tidak memperlihatkan foto adiknya yang sedang dirantai di tempat tidur sebagai bukti, polisi yang bertugas itu mungkin saja malah membawanya kembali ke rumahnya untuk didamaikan dengan orangtuanya. Foto tersebut yang meyakinkan polisi bahwa ini adalah sebuah kasus yang serius dan bukan permainan atau kenakalan remaja seperti yang sering terjadi. Jordan lalu diminta polisi tadi untuk masuk dan duduk di kursi penumpang mobil patroli. Sebelum berangkat, polisi tersebut menanyakan pada Jordan apakah ada anggota keluarganya yang bakal membutuhkan tim medis atau pengobatan. Jordan malah minta maaf karena dirinya bahkan tidak mengerti arti dari kata medication atau pengobatan.
Satu setengah jam kemudian beberapa polisi mendatangi rumah keluarga Turpin. Butuh beberapa menit sampai akhirnya David dan Louise Turpin muncul dari balik daun pintu dengan wajah was-was. Dan ketika ditanyai apakah mereka tinggal bersama anak-anak dan minta izin untuk mengecek kedalam rumah, pasangan ini terlihat semakin ketakutan. Beberapa orang polisi lalu masuk kedalam dan melakukan penyisiran keseluruh ruangan didalam rumah tersebut. Dan hasil penemuannya sungguh mencengangkan dan benar-benar memprihatinkan.
Polisi menemukan ke-12 saudara Jordan didalam rumah yang gelap dan bau menyengat karena dipenuhi oleh sampah, kotoran manusia, dan lumut. Anak-anak keluarga Turpin, 10 diantaranya adalah perempuan, yang paling tua yakni perempuan berusia 29 tahun dan yang paling muda berumur 2 tahun. Semuanya ditemukan dalam keadaan kurang gizi dan sangat kotor. Dua anak perempuan dan 1 anak laki-laki ditemukan dirantai di tempat tidur menggunakan gembok. Begitu berhasil diselamatkan, mereka langsung meminta makan dan minum karena kelaparan.
Selain fisik yang sangat ringkih, polisi menemukan beberapa dari mereka dalam keadaan ‘tidak sewajarnya’. Tujuh diantara mereka sudah masuk dalam kategori dewasa, namun fisik mereka yang lemah dan kurang gizi menyembunyikan fakta bahwa mereka sudah berusia antara 18-29 tahun. Mereka masih mengenakan piyama dan berbicara seperti anak-anak.
Hari itu juga David dan Louise Turpin ditangkap oleh pihak kepolisian, sementara ke 13 anak-anak mereka langsung dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Selanjutnya fakta-fakta kebiadaban pasangan Turpin ini pun terkuak yang dikisahkan oleh korban yakni anak-anak kandung mereka sendiri.
David dan Louise Turpin memenjarakan anak-anak mereka di sebuah rumah yang tampak rapi dan asri dari luar namun penuh dengan sampah dan bau kotoran manusia didalamnya. Anak-anak itu diwajibkan tidur di siang hari dan bangun di malam hari, dimana para tetangga sudah terlelap untuk menghindari kecurigaan dan masalah. Dilarang berdiri didekat jendela atau tengok-tengok keluar.
Hanya anak pertama mereka yakni Jennifer yang sempat merasakan bangku sekolah dasar, itu pun hanya sampai tahun ke tiga saja. Dan waktu itu tidak ada yang mau berteman dengan Jennifer karena bau menyengat dari tubuh Jennifer membuatnya dijauhi oleh anak-anak lain.
Semenjak itu tidak ada dari anak-anak Turpin lainnya yang pernah bersekolah. Tidak ada satupun yang boleh keluar dari rumah. Sesekali saja dan itu pun jarang terjadi, mereka diajak keluar rumah. Dan ketika berada di luar rumah pun mereka tidak bisa bertindak sesuka mereka. Pakaian mereka harus seragam dan mereka harus berdiri atau berbaris sesuai dengan urutan lahir. Dan tidak diperkenankan bicara dengan siapapun. Pokoknya segala tindak tanduk mereka diawasi dan dikontrol oleh Louise dan David.
Anak-anak Turpin sering dibiarkan kelaparan. Dengan kejamnya Louise dan David hanya sekali sehari memberi makan anak-anak itu pun hanya dengan roti lapis dan selai kacang saja. Sementara mereka makan bisa makan apapun yang mereka mau. Karena sering dibuat kelaparan, tumbuh kembang anak-anak Turpin ini terganggu bahkan ada yang berhenti dan beberapa dari mereka menderita penyusutan otot. Alhasil anak-anak Turpin sering ketahuan mencuri makanan dan lalu dipukuli habis-habisan oleh Loiuse.
Anak-anak Turpin diteror dengan ayat-ayat alkitab yang disalahgunakan oleh David dan Louise untuk mengontrol dan menanamkan ketakutan dalam diri anak-anak. Louise sering sengaja membeli pakaian dan mainan anak-anak namun tidak memperbolehkan satupun mengenakan atau bermain dengannya. Suatu hari Louise sengaja meletakkan sepiring pie buah diatas meja makan, membiarkan anak-anaknya melihat, mencium wangi pie tersebut namun tidak satupun boleh menikmati. Selain menyiksa secara fisik, Loise juga menyiksa anak secara mental dan emosional.
Anak-anak itu bahkan hanya diperbolehkan untuk mandi satu kali dalam setahun dan sering melarang mereka menggunakan kamar mandi. Karena itu mereka terpaksa buang hajat dimana saja seperti binatang. Dan mereka hanya diperbolehkan untuk mencuci tangan saja, jika ketahuan mencuci bagian tubuh diatas pergelangan tangan mereka bakal kena hukum. Dipukuli, didorong dari tangga atau dirantai.
Bertahun-tahun hidup dalam penyiksaan dan kontrol yang diluar nalar pasangan Turpin, mengakibatkan dampak yang mendalam bagi anak-anak Turpin. Sebagai contoh, Jennifer sempat berniat untuk bunuh diri. Karena itulah dia dan Jordan lalu menyusun rencana untuk melarikan diri dua tahun lamanya sebelum akhirnya upaya Jordan berhasil. Rencana di awal Jennifer dan Jordan yang akan menyelinap keluar dimalam itu, namun karena terlampau ketakutan, Jennifer urung dan kembali masuk ke rumah. Namun tidak dengan Jordan yang memutuskan untuk melanjutkan pelariannya sambil memegang erat-erat ponsel usang yang hampir dibuang oleh salah satu saudaranya, dengan ponsel itulah dia menghubungi 911 dan akhirnya menyelamatkan nyawanya dan saudara-saudaranya.
Berbeda dengan Jennifer, Jordan Turpin mendapatkan pengharapan setelah menemukan dan menonton video musik penyanyi Justin Beiber dari ponsel milik salah satu saudara laki-lakinya yang dipercaya untuk memegang ponsel. Setiap kali kedua orangtuanya sedang tidak ada dirumah, Jordan sembunyi-sembunyi menonton video dari penyanyi tembang Baby ini. Dari video-video Justin Beiber, Jordan mendapatkan ‘kesadaran’ bahwa ada kehidupan lain yang jauh berbeda dari kehidupan yang dijalaninya saat itu. Dia mengatakan bahwa dia banyak belajar hal-hal baru dari Justin Beiber yang dia tonton dan semuanya itu memberinya sebuah pengharapan bahwa dia pun bisa mendapatkan kehidupan seperti yang ditampilkan dalam video-video tersebut.
“Mungkin karena kami sudah terbiasa hidup seperti telur diujung tanduk, jadi meskipun takut saya lakukan saja. Setidaknya kalaupun saya bakal mati, setidaknya saya sudah berusaha. Saya khawatir dan melihat adik saya menangis dan takut. Jadi saya harus melakukannya, meminta pertolongan dan menyelamatkan saudara saya.” Jelas Jordan, setelah empat tahun berlalu, disebuah wawancara dengan ABC News.
Baik David ataupun Louise, hingga kini tidak dapat memberikan alasan logis mengapa mereka memperlakukan anak-anak mereka seperti itu. Hingga akhirnya pada Februari 2019, keduanya divonis 25 tahun penjara seumur hidup setelah mengaku bersalah atas 14 tuduhan kejahatan. Pada sidang peradilan, David mengatakan bahwa dia tidak pernah bermaksud untuk menyakiti anak-anaknya dan berharap yang terbaik untuk anak-anaknya di masa depan mereka. Dan Louise sambill terisak mengungkapkan permintaan maaf atas semua yang telah dia lakukan. Dan mengaku bahwa dia mencintai anak-anaknya lebih dari yang mereka bayangkan.